Tuesday, December 16, 2008

Pesona Lawang Sewu dan Kota Lama


Hore, aku bisa datang juga ke Lawang Sewu ama Kota Lama. Udah lama ngebet ke sana, tapi ada aja alangannya. Hiks, hiks. Aneh dong, ke Semarang, tapi gak datang ke dua tempat itu, hihi.

Rute dimulai dari Lawang Sewu. Buat buktikan sendiri bangunan yang kabarnya pernah muncul penampakan di TV. Hiy. Untung aja datang waktu hari masih terang, kalau gelap mana tahan! Siang aja keadaannya udah horor, apalagi malam, hua.

Waktu itu aku jalan cuma berdua aja, tanpa guide. Kita juga putar-putar ga berani terlalu jauh, yang penting sotret menyotret. Solusi lainnya, kita buntuti pengujung lain, biar gak terlalu sepi, haha.

Mblusuk-mblusuk aja gak berani apalagi masuk bawah tanah yang konon pernah jadi penjara dan penyiksaan. Bawah tanahnya juga tergenang air dan gelap banget. Wa, tidak!

Bentuk bangunannya juga mendukung wisata horor, banyak lumut, minim cahaya, suram, kelihatan dari depan sih ramai pengunjung, serta masuk ke dalam, luas juga, ujung-ujungnya sepi.

Kabarnya, Lawang Sewu mau dibuat hotel. Aku sih mendukung, dari pada bangunannya terlantar dan gak ada perawatan sama sekali. Malah menggenaskan. Senasib kayak Taman Sari-nya Jogja. Hm, jangan salah, serem-serem gitu, ada yang pre-wedding di Lawang Sewu. Sebelum hari jadi gelap, wisata langsung pidah ke Kota Lama.

Asik, kawasan Kota Lama mah unik, jadi semangat foto-foto. Bentuk bangunannya memang amat jadul, beberapa tempat juga kelihatan sepi. Asal tahu tempat rawan dan sembunyiin kamera dari pandangan, it’s ok. Tempat semacam itu biasanya buat kumpu orang sabung ayam. Mereka curiga orang bawa kamera itu pasti wartawan yang mau liput kelompok mereka.

But, semangat sempat menciut waktu ketemu sama rob yang menggenang di beberapa ruas jalan Kota Lama. Sisa-sisa genangan bikin bau gak sedap, becek, dan ada bangkai hewan juga, jorok lah. jadi jangan heran kalau tiba-tiba lihat tikus bersliweran di sudut-sudut jalan. Yaiks.

Kalau mau tempat agak enak buat duduk, ya di sekitar gereja Blenduk. Waktu itu gereja dalam masa pemugaran, jadi belum bisa lihat bagian dalam.

Pintar-pintar cari jalan deh, buat menghindari rob. Kalau memang perlu, bawa makanan atau cemilan dari rumah, coz dalam radius dekat gak ada swalayan. Tempat ini pasaran banget buat pre wedding. ‘Sangat’ Semarang.

Saturday, December 13, 2008

Taman Sari, Riwayatmu Kini

Menjelang hari raya kurban kemarin, aku sempatin datang ke Taman Sari. Niat awalnya sih mau foto-foto berempat, yah sayangnya gak bisa kesampaian. Akhirnya aku, Teta, adekku, plus pacarnya, berangkat.

Berhubung hari libur, suasana Taman Sari ramai juga. Banyak juga wisatawan luar negeri lo. Bahkan sempat kita lihat, ada beberapa pasangan yang melakukan foto pre-wedding. Taman sari memang jadi tempat yang unik buat sotret menyotret, karena bangunannya yang khas.


Sayangnya, Taman sari berkesan tak terawat, pemeliharaan asal-asalan. Masa disela-sela jendela Taman Sari ada penduduk yang jemur kerupuk dan sayur mayur? Belum lagi jemuran warga yang bergelantungan di kawasan Taman, hmm, apa kata para wisatawan ya.


Pengunjung juga ada yang edan. Kalau bawa camilan, buangnya sembarangan, yaiks. Kok ya nggak ada petugas yang patroli kebersihan tiap saat ya? Pengunjungnya bandel, pengelola ya cuek. Parah deh.

Kondisi kompleks Taman Sari yang menyatu dengan perkampungan, memberikan resiko demikian. Bukan malah terkesan eksklusif. Kalau pemanfaatan warga bisa memberikan kontribusi buat Taman Sari ya, malah lebih bagus lagi. Misalnya ada yang membuka kursus membatik, atau buka warung, kan malah membantu pemasukan warga sendiri. Batik juga menambah nilai wisata.


Kalau penduduk sekitar cuma melakukan pungutan liar ke pengunjung, atau menambah kesan jorok (seperti menjemur baju di bangunan Taman sari), malah bikin ilfil. Nilai sejarahnya malah jauh berkurang. Jangan-jangan suatu saat Taman Sari hanya akan jadi warisan yang dilupakan orang.

Bale Kambang, Wisata Gratis

Waktu dapat kesempatan libur beberapa hari, aku niatin buat naik kereta api. Ini bermula dari aku yang bersikeras mau nyoba kereta api Banyu Biru, jurusan Semarang – Sragen. Padahal kan, gampang aja, tinggal turun di Solo Balapan buat pulang ke Jogja, tapi tetep aja gak boleh.


Berhubung gak menginap, cari rute-rute yang deket aja, so, pilihan jatuh ke Solo. Jauh-jauh ke Solo, kan gak asik kalau gak jalan-jalan. berdasar refrensi dari koran yang kebetulan dibeli saat perjalanan, akhirnya diputuskan ke Bale Kambang aja. Secara mall-malll di Solo udah beberapa kali dikunjungi, makanya agak malas ke sana. Bale Kambang gak terlalu jauh dari stasiun. Kalau pake becak, kira-kira ‘makan’ waktu 15 menit.


Bale Kambang letaknya dekat stadion Manahan, jalan Jenderal Ahmad Yani. Bentuknya taman wisata di tengah kota. Bukanya jam 07.00-18.00, setiap hati. Masuknya gratis, tis. Suasana di dalam juga gak membosankan.


Dalam Bale Kambang ada beberapa tanaman langka, danau buatan dengan balai yang mengapung di tepinya, jadi seolah-olah mengambang, ada teaternya, bahkan ada dua rusa yang dibiarkan berkeliaran. Kalau mau kasih makan merpati di deket air mancur juga bisa. Asiknya lagi, tersedia banyak bangku di penjuru taman yang bisa buat leyeh-leyeh. Beberapa pasangan malah asik pacaran mesra lo, haha.


Taman ini dibangun seorang bangsawan sebagai wujud kasih sayang ke anak-anak perempuannya. So sweet kan? Patung kedua putri itu ada di tengah danau dan air mancur. Waktu aku ke sana juga masih ada pembangunan dalam taman, mungkin penambahan fasilitas.


Sayangnya, toilet yang berfungsi letaknya terpencil dan menyeramkan. Mungkin yang kebelet, malah gak jadi. Ada toilet-toilet baru, tapi belum berfungsi.


Menyenangkan kalau ada taman di kota, bisa jadi penyaring polusi kota, apalagi yang gratis buat pengunjung, seperti Bale Kambang.

Alokiteswara, Vihara Memukau

Setiap mau ke kantor Suara Merdeka, pasti melewati bangunan vihara megah yang tampak menyolok. Wah, akhirnya aku bisa kunjungi juga. Selain sebagai tempah ibadah, ternyata Vihara Alokiteswara, Watu Gong, Budhagaya, juga biasa dikunjungi sebagai tempat wisata,

Di sebut Watu Gong, karena di sana memang ada batu yang bentuknya menyerupai gong. Masih ada sampai sekarang. Suasananya nyaman, tenang, baunya wangi, hm, khas tempat ibadah. Ada beberapa souvenir yang dijual pada pengunjung. Souvenir ini gak ada yang jaga lo, jadi disediakan tempat uang untuk orang yang tertarik membeli souvenir. Gak hanya souvenir, minuman ringan yang ditaruh di pendingin juga mendapat perlakuan yang sama. Hm, kejujuran di uji nih.

Pengunjung boleh bebas berfoto. Termasuk di depan patung Kwan Im tiga dimensi yang luar biasa besar, tapi pengunjung gak boleh duduk, atau naik berdiri ke tempat patung-patung tersebut. Desaign-nya mengaggumkan, warna merah mendominasi di vihara ini. selain bangunan Kwan im yang tinggi menjulang, ada gedung besar yang pernah dipakai buat upacara pernikahan. Di tempat yang luas itu, juga ada patung Budha dengan pose tidur menyamping, tangan di sangga di kepala (look familiar?).

Wah beruntungnya bisa mengambil banyak gambar di tempat ini. gak semua vihara memperbolehkan sembarang pengunjung datang. Apalagi foto-foto.

Friday, December 12, 2008

Asyiknya Ikut Liputan Fotografer Freelance

Selama magang, kadang-kadang aku ikutan liputan juga. Apalagi kalau di kantor memang gak ada kerjaan lagi. Namanya Juvee, anak magang seumur hidup di SM CyberNews. Ah, becanda aja. Dia dah sering aku sebut, karena berjasa jadi guide jalan-jalan selama aku di Semarang.


Kegiatannya sehari-hari, cari berita foto yang akan di tampilkan di halaman utama SM online. Keren kan. Beberapa kali dia berbaik hati mengajak aku buat ikutin kesibukannya. Di tiap momen itu aku juga gak lupa buat ikutan ambil foto-foto demi koleksi pribadi. Hehe.


Aku pernah di ajak ke malam keakraban Mas dan Mbak Duta Wisata semarang 2008. saat itu cuma press release aja, tapi aku sempat bertemu dengan beberapa orang yang kompeten di bidangnya, termasuk tahu dengan Mas Duta Wisata 2007, ehem.


Kadang-kadang ada momen yang terjadi tanpa direncana. Juvee tau info peristiwa penting juga secara mendadak, dan itu sering terjadi lo. jadi dijalan kebut-kebutan ya udah hal biasa.


Aku ikut waktu ada penggrebekan Satpol PP pada pedagang liar di daerah Pedurungan. Wah, para pencari berita emang gak segan-segan kalau berburu. Sekarang aku bisa saksikan sendiri. Kayaknya para petugas juga udah biasa tuh lihat wartawan nyotret-nyotret di TKP. Malah aku juga ditanya, “Mbak gak ikut masuk TV tuh?”. Nah!


Juvee bilang yang penting cepat-cepat dapat foto dulu. Soalnya kejadian kan gak mungkin diulang lagi. Masalah informasi selengkapnya, bisa ditanyakan kemudian, atau kalau punya relasi, Tanya aja ke temen-temen yang lebih tau. Hmm, dapet ilmu colongan lagi nih. Asik deh.


Paling seneng waktu ikut liputan peringatan Hari AIDS Sedunia, tanggal 1 Desember kemarin. Seharian kita putar-putar cari aksi-aksi seputar peringatan tersebut. Ah, ternyata gak sia-sia. Hubungan yang terjalin di antara sesama wartawan itu penting banget lo, walaupun mereka gak satu media. Kadang butuh perjuangan juga buat nunggu atau ngejar aksi yang sedang berlangsung. Aku sih ikut-ikuta aja, asik bisa jalan-jalan.


Selama ‘ngekor’ itu aku juga ambil banyak keuntungan yang gak sedikit. Selain bisa turun dan merasakan sendiri cari berita di lapangan, aku juga dikenalkan ke beberapa teman wartawan. Baiknya lagi, kadang di antara mereka gak pelit buat sharing dan ngasih tau pengalaman mereka ke kita-kita yang masih ‘ijo’ ini. Pengalaman yang menyenangkan.


Hmm, thanks Juvee..

Kuliner Yogyakarta: Soto Mlati




Buat ukuran soto, harganya mahal. Porsinya irit lagi. Seperti warung soto lainnya, di sini juga disediakan banyak lauk pauk pelengkap soto, kayak; telur puyuh, ayam goreng, perkedel, trus...hm, apalagi ya? Telur puyuh satu tusuk isi empat dihargai Rp.3000,-. Kerasa nohoknya kan? Buat aku pribadi sotonya si lumayan enak, tapi belum ‘mak nyus’.

Bili pesan gado-gado, untuk ukuran aku yang cewek aja, udah termasuk kecil, apalagi di mata para cowok.
“Enak?”, tanyaku.
“Yah, lumayan”, jawabnya.

Soto ayam Rp.7000.-, Gado-gado istimewa Rp.8500.- (Hm, apanya yang istimewa ya?). Es jeruk dihitung Rp.3500,-, hiks. Total kita habisin Rp.24.000,-

Letak warung ini sekitar Jl. Magelang, Mlati Sleman. Wujudnya sih bukan warung sederhana, tempatnya bersih teratur, menghadap jalan, tapi sisi belakang ada kebun buat ‘nyegarin mata’. Mas yang ngelayanin juga cepet tanggap. Waktu itu aku kebetulan mampir, keburu laper berat, hehe. Buat yang pingin makan murah tapi pingin porsi ekstra large, tunda dulu ya ke sininya.

Thursday, December 11, 2008

Kuliner Jogja: Bie, masakan serba babi




Wah ini sih udah famous di kalangan temen-temen pecinta babi. Masakannya beragam, enak lagi. Pas kantung mahasiwa. Tempatnya di daerah Nologaten. Yah gak jauh-jauh amat dari pasar Nologatennya.

Ada babi panggang, sate babi, babi bumbu rujak juga ada. Favoritku ya nasi goreng babi. Dengan porsi memuaskan buat cewek, harganya juga ramah, Rp.8500,-an aja. Ada acar, emping, plus tambahan sayur. Yummy.

Suasananya enak. Apalagi di lantai dua. Walau tangganya aga horor, begitu sampai di atas, nyaman deh. Apalagi kalau sepi. Hihi. Harga menu satu ke yang laen juga gak terlalu jauh kok. Puas pokoknya.

Wednesday, December 10, 2008

Tentang Bandungan



Kemarin ini (30/11) memang di- planning buat jalan-jalan sama Mas Moko dan Mbak Endah ke Bandungan. Berangkatnya udah agak sore, sekitar jam 14.30. Hasrat jalan-jalanku kesampaian lagi, oh, asyiknya.

Aku dah deg-deg-an, takutnya acara jalan bakalan gagal lagi, hiks. Soalnya aku dah panik, rencana awal yang mau ke kampung Cina terpaksa ditunda, huhu. Padahal aku dah membayangkan pose-pose foto sekaligus dress code-nya, opo to yo, kok aku kayaknya heboh banget. Haha. Meski berubah , aku tetep excited. Lagi pula ini kan perjalanan ke tempat yang baru. Kata sepupu, Bandungan itu daerah yang dingin. Kabar baiknya ada sate kelinci yang bakal bisa dicicipin.

Ternyata, jalan ke Bandungan kelak-kelok, kanan kiri banyak jurang, luar dalam mirip sama Kopeng-lah. Banyak sayuran fresh yang dijual di pasar. Sayang kita gak sempat mampir buat beli, karena tujuannya langsung ke Candi Songo.

Untuk sampai ke tiap-tiap titik candi, jalannya menanjak. Buat alternatif orang yang males, ada penyewaan kuda yang bisa antar sampai puncak. Hehe. Waktu kita di sana gak banyak, karena sepupuku ada acara lain. Hu uh, sedih deh.

Aku cuma bisa lihat candi ke dua aja, gak ada apa-apanya donk, kan totalnya ada sembilan candi. Kabarnya candi yang bisa ditemukan tinggal lima aja, yang empat dah gak diketahui riwayatnya. Kelihatannya mistis kan, padahal gak juga. Aku sempat dapat info, candi-candi ‘ilang’ itu mungkin udah tertimbun karena gempa. Ternyata beberapa candi udah rata sama tanah, gak mbentuk lagi, parah deh.

Aku agak sanksi juga sih, masalahnya kesan pertama lihat, peninggalan seperti candi dan penataan tenda para penjual di tempat wisata gak terlalu diperhatikan sama pemerintah. Males banget ya, seolah orang-orang di sana cuma sekedar manfaatin yang udah ada, nggak mau usaha lagi untuk meningkatkan kualitas obyek yang lebih baik. Hm, tau gak, tiket masuk per orang Rp.6000,-. Murah ya. Nah kalau turis manca, bisa sampai Rp.25.000,-. Sial, kesannya aji mumpung banget sih, grrr. Lah, apa yang bakal diandalin buat daya tarik suatu saat nanti, kalau beberapa tahun ke depan semua candi udah lenyap?

Promosinya, di puncak pendakian bakalan ada air panas yang mengandung belerang. Sayang banget gak sampai sana, buat buktikan sebagus apa tempat itu. Kalau ada waktu gak usah naik kuda deh, jalan aja, walau capek pastinya. Kan sekalian foto-foto. Hehe.

Akhirnya di sana kita makan sate kelinci, uenak tante! Ya udahlah, walaupun gak lama di sana, cukup terobati makan sate enak, siplah! Hujan turun kecil-kecil, beruntunglah gak jadi deras, rusak donk acara jalannya. Kabutnya mulai tebal, udaranya juga tambah dingin, kata si mbak penjual sate, biasanya lebih dingin dari sekarang, brrr. Gak terasa saatnya harus pulang. Semoga bisa datang lagi dan aku bisa daki sampai akhir. Suatu saat aku datang lagi, aku harap tempat itu udah dikelola jadi lebih cantik.

Tentang Ungaran



Selama magang aku tinggal di rumah saudara sepupu di Semarang. Seperti cerita yang lalu, Semarang ke Ungaran itu jauh. Sebenernya aku pingin kos, biar praktis, tapi setelah ditimbang, tinggal di Ungaran ternyata lebih banyak sisi praktisnya. Hehe. Ya, makan, baju, transport, keamanan, thanks buat Mas dan Mbak ku.

Ungaran kotanya gak besar, kalau aku amati malah banyak pabrik, kayak jadi kawasan industri gitu. Ada Kubota Indonesia, Jamu Jago, kalau ke arah selatan ada PT Nissin, Nyonya Meneer, PT Batam Textill, Coca Cola dan beberapa pabrik lain.

Udara Ungaran masih segar lo, suasananya juga masih kaya di desa, hehe. Agak malam sedikit dah sepi. Jalanan ramai karena jalur utama Ungaran kan memang buat lalu lintas antar kota, antar propinsi. Begitu mblusuk, ya sepi. Betul-betul kota kecil. Boro-boro mall, plaza yang ada aja malah buat bilyar. Kalau ada toko kebanyakan kayak WS di Kotagede, nah, betul situasinya kayak gitu.

Keinginan Mas Moko dan Mbak Endah buat tinggal di Ungaran udah lama. Ceritanya sih, udah cinta mati. Dari rumah mereka, gunung Ungaran bisa kelihatan jelas. Sejuknya, dibanding udara Semarang yang penuh polusi. Huh. Perumahan yang jadi tempat tinggal ini juga masuk tatanan modern kok, banyak rumah ‘gaya’ yang gak kalah sama di kota Semarang. Penduduk Ungaran juga gak sedikit yang kerja di Semarang dan nglaju pulang pergi.

Rumah mereka banyak pohon buah. Selama aku di sini, udah beberapa kali panen belimbing. Selain itu masih ada pohon jambu air sama pisang, yes, ini dia my favorit, hehe.

Kadang pulang dari Semarang tu, bisa keringetan dan gerah gitu, begitu sampai Ungaran langsung mak nyes, dingin. Ya, apa boleh buat, kalau lagi kurimen ya aku mandi pakai air hangat, hihi, ngeles.

Ungaran sering hujan. Misalnya dari Semarang kering kerontang, mulai daerah Pudak Payung dah mulai hujan, siap-siap mantol ma sandal jepit tiap hari deh, huhu, deritaku. Syukur aja, akhir-akhir ini udah gak sesering dulu hujannya, sepatuku bebas lembab donk, asik.

Aku cinta tahu bakso Ungaran. Tahu bakso yang di Jogja? Wah lewat! Di sini tahu baksonya super mak nyus, haha. Baksonya lumayan banyak, jadinya puas. Udah jadi ikon kok. Kalau Ungaran ya oleh-olehnya tahu bakso. Aku beberapa kali balak-balik Jogja-Ungaran bawa itu buat oleh-oleh. Gak sedikit teemn-temen di Jogja nodong tahu bakso tiap kali dari Ungaran. Yaelah.

Aku pernah jalan-jalan keliling perumahan di Ungaran. Makin ke dalam, arah barat makin terasa suasana desanya. Terutama tempat tinggal penduduk asli Ungaran memang masih sederhana, mengingatkan sama daerah Gunung Kidul. Masih ada yang pelihara sapi dan ngarit lo. Dari pemilik sapi itu, sepupuku sering beli susu buat aku minum, wow, fresh from the oven. Everyday. Kalau ada rumah bagus-bagus dengan macam gaya ya emang pendatang baru.

Ternyata tanah disana kayak tanah merah yang rawan gitu lo. Tanah yang begitu kena air langsung menggumpal, kalau pake sandal, jadi tebel banget. Heran, di daerah tebing gitu, ada yang bangun rumah sampai dua lantai, ckck, agak mengkhawatirkan. Katanya tanah kayak gitu emang bagus kalau ditanam, jadi subur, cuma kekurangannya ya rawan.

Aku kesal sama beberapa persimpangan Ungaran. Rawan crowded tapi tanpa traffic light. Ugh, njelehi! Ketar-ketir kalau lewat jalan itu lo. Jalurnya bis-bis AKAP, truk, sekaligus mikrolet.

Di jalur utama Ungaran ada juga yang pake traffic light. Agak percuma sih, karena jalur kendaraan yang berlawanan, tanda traffic light nya nyala bersamaan, kalau hijau ya kedua jalur hijau, kalau berhenti ya berhenti bareng. Kalau niatnya jalan lurus gak masalah, kalau belok? Wow, harus super sabar, jalan utama gitu sih mana mau truk container ngalah sama sepeda motor. Jarang, yang ada malah ngebut gila-gilaan. Heran kok tega bener di diemin. Emang kalau gak ada kecelakaan, gak bakal di perbaiki ya, wah knok knok. Jangan sampai.

DDLJ, tolong dong…